Agustus 29, 2013

86





Judul Buku : 86
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Maret 2011
Tebal : 256 halaman, paperback
ISBN : 978-979-22-6769-3

Orang-orang sedang ramai membicarakan korupsi, uang sogok, pelicin atau apalah namanya, sudah akrab di telinga kita. Macamnya juga banyak, dari memasukkan anak ke sekolah, sampai ke tingkat pejabat yang notabene seharusnya bekerja untuk rakyat, bukannya malah memakai uang rakyat seenak udelnya sendiri.

Salah satu tempat yang sering sekali korupsinya terungkap, adalah Pengadilan. Di tempat seharusnya hukum benar-benar ditegakkan seadil-adilnya ini, korupsi ternyata juga bermukim. Siapa bilang hukum tidak bisa dibeli?

Namanya Arimbi, seorang gadis dari desa di Ponorogo. Ia anak tunggal, yang setelah lulus kuliah di Solo melanjutkan hidupnya di Jakarta. Orang-orang di kampung mengira Arimbi telah menjadi sukses, kerja di Jakarta, di Pengadilan, bersama Hakim-Jaksa, yang seringpula wajahnya muncul di televisi. Mereka tak tahu bahwa Arimbi ‘hanya’ menjadi juru catat, yang bertugas mencatat hasil sidang, mengetik kembali laporan sidang. Bagi Arimbi, pekerjaannya hanya pekerjaan bawahan biasa. Gajinya juga ia pakai irit-irit, tinggal di kontrakan kecil, hidup seadanya, lalu sisa uangnya ia kirimkan untuk orang tua di kampung.

Suatu hari, Arimbi yang polos ini mendapat kiriman AC dari seorang tergugat. Karena takut ada apa-apa, maka ia memberitahu atasannya, Bu Danti, yang ternyata malah menyuruh Arimbi menerima ‘rejeki’ tersebut.

Itu adalah kali pertama, Arimbi mulai merasakan nikmatnya ’rejeki’ dari 86.



Ia bercerita kepada teman kantornya, Anisa, yang ternyata malah sudah lama bermain api dengan hal begituan. Tidak hanya bonus dari Bu Danti yang diterima, ternyata Anisa juga sering ‘meminta’ dari para pengacara untuk memuluskan urusan mereka. Arimbi kemudian berpikir, pantas saja Bu Danti sering jalan-jalan ke luar negeri, liburan bersama anak-anaknya, atau pantas saja Anisa punya mobil, rumah, jam tangan mahal, padahal suaminya juga seorang pegawai biasa.

Nasib membawa Arimbi pindah dari rumah kontrakan ke sebuah kamar kos dekat kantornya. Di sini ia berkenalan dengan Ananta, lelaki yang kemudian menjadi suaminya. Semenjak berkenalan dengan Ananta, Arimbi juga makin mengasah ’kemampuan’nya mengeruk keuntungan dari uang suap, perkara-perkara yang harus ia ketik, yang ia kerjakan dengan lembur. Uang itu demi masa depan, kilah Arimbi. Ananta seorang pegawai survey kredit motor yang penghasilannya hanya cukup untuk membayar uang kos dan mengirim sisa ke keluarganya di kampung. Sedangkan gaji Arimbi paling-paling habis buat makan, padahal mereka butuh hiburan, butuh foya-foya, berbelanja, menikmati hidup seperti orang kaya.

Sepandai-pandainya tupai meloncat, pasti akan jatuh juga.

Begitu pula nasib Arimbi. Apakah ia akan selamat dari tuduhan tersebut berbekal 86 juga?

Secara keseluruhan, novel ini memiliki alur yang runut dan mengasyikkan untuk ditelusuri. Saya bahkan menghabiskannya hanya dalam semalam (jarang loh emak kaya saya rela melek malam hari buat namatin buku). Tokoh Arimbi diceritakan dengan baik, yang asyiknya, dibuat berkembang sesuai alur cerita. Arimbi yang awalnya polos, lugu dan tak mau tahu apapun berubah menjadi Arimbi yang berkuasa, meski kepolosannya masih tersisa. Jelas dalam kisah ini Arimbi adalah wanita yang mencintai keluarganya, juga suaminya. Ia juga memiliki harapan yang besar sampai-sampai ’imannya’ goyah dengan godaan jaminan kenyamanan di masa depan.

Arimbi mungkin merasakan kemerdekaan yang ia dapatkan ketika ia mulai mencecap kenikmatan dunia dari hasil 86-nya. Padahal nyatanya ia membangun penjaranya sendiri pelan-pelan. Ia tertipu kemerdekaan yang sekejap, alih-alih kemerdekaan abadi yang dapat diperoleh jika Arimbi dan suaminya mau meraihnya lewat cara yang halal. Buat saya, buku ini jelas memiliki pesan moral bahwa kemerdekaan, kebebasan, tidak dapat dilihat secara instan. Kebebasan adalah proses, bagaimana ia diraih tanpa harus mengkhawatirkan darimana ia berasal.

Membaca buku ini, dan menulis reviewnya di malam HUT kemerdekaan RI yang ke-68 merupakan cara lain saya merayakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Apakah kita sebenarnya sudah benar merdeka? Bebas dengan adanya jaminan masa depan, bebas tanpa khawatir dililit hutang. Bebas tanpa beban memikirkan pejabat yang terus menerus diberitakan korupsi, di televisi.

Dari Sosok Ananta, saya juga mendapat pelajaran. Bahwa ketika kita menduplikasikan hidup kita dengan orang lain yang telah berikrar di penghulu. Kita turut bertanggung jawab atas keselamatan pasangan kita tersebut, menegurnya dengan jelas saat salah, dan mencegah ia melakukan kejelekan serupa yang dulu. Dengan demikian, kita dapat sama-sama merdeka. Bahagia sampai akhir masa, mungkin? Siapa tahu.. :)

*86 : Ungkapan 86 awalnya digunakan di kepolisian, yang artinya sudah dibereskan, tahu sama tahu. Tapi kemudian digunakan sebagai tanda penyelesaian berbagai hal dengan menggunakan uang. – Hal.94


Diikutkan dalam posting bareng Blogger Buku Indonesia dengan tema #sastraIndonesia
11 komentar on "86"
  1. Aq blm pernah baca karya Okky, gaya penuturannya enak tidak mbak ? Ada yang bilang banyayk singgung soal politik & kebijakan pemerintahan.
    *blogwalking*
    [ http://asian-literature.blogspot.com/2013/08/books-ronggeng-dukuh-paruk.html ]

    BalasHapus
  2. Buku ini udah susah dicari. Penasaran dengan tulisan mbak okky ini

    BalasHapus
  3. Iw itu toh artinya 86 alias "tahu sama tahu" *lagi baca buku ini juga :)

    BalasHapus
  4. Aku lebih suka reviewnya daripada bukunyaaaa... #duh #adapenulisnyaganih? hihihi....

    BalasHapus
  5. eh ternyata ada to buku tentang lingkaran setan mafia peradilan? eh gaya tutur penulisnya gimana mbak? nyaman gak dibaca? banyak yang gak masuk akal gak? atau terlalu dibuat - buat gitu.

    BalasHapus
  6. Pemenang KLA ya...
    aku belum penasaran baca kenapa ya.. :(

    #KilasBuku BlogWalking

    BalasHapus
  7. @ hobby buku : yup, tema sosialnya kritis menurutku..
    @ Keke : iyaaa.. ini suatu hari nemu di diskon gramediaa
    @ dion : asyeek bacaaa
    @ mba lila : ~~~\o/ *jogetrebana
    @ review buku : Sukaa, maas. Rahib aja nyari buku ini juga. ngga aneh aneh sih, cerita dan alurnya..

    BalasHapus
  8. naaah aku jadi inget istilah 86 juga banyak dipake pas aku dulu masih jadi wartawan - itu untuk menggambarkan uang yang diterima dari nara sumber - biasanya sih supaya diberitain yang bagus2 hehehe...jadi penasaran sama buku ini, kayaknya ok.

    BalasHapus
  9. banyak yg bilang buku-buku okky bagus, tpi belum pernah sekalipun baca bukunya..

    BalasHapus
  10. Saya nggak ngerti 86 dan baru tau setelah baca buku ini.. :)

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Salam,

Salam,