Maret 31, 2015

Still Alice





Judul Buku : Still Alice
Penulis : Lisa Genova
Tebal : 320 halaman
Penerbit : Simon & Schuster
ISBN : 9781439157039


Alzheimer’s disease was an entirely different kind of beast. There were no weapons that could slay it


Pada dasarnya, saya yakin manusia diciptakan sepaket sama yang namanya "lupa". Tapi bila lupa itu terjadi karena suatu penyakit dan belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkannya, mungkin rasa lupa itu pelan pelan bisa membunuh kita dari dalam.

Seperti yang dialami Alice, seorang profesor Linguistik di Harvard yang baru berusia lima puluhan. Kariernya sudah mapan, ia disegani baik oleh rekan-rekannya di kampus ataupun oleh mahasiswanya, ya dua puluh lima tahun masa mengajar membuat Alice selalu sibuk dengan kegiatannya. Kehidupan keluarganya juga terlihat sempurna, suaminya seorang Profesor juga di bidang Biologi, anak mereka yang pertama bekerja di bidang hukum, anak kedua mereka seorang dokter. Meski demikian, hubungan alice dengan anak ketiganya tidaklah sempurna. Lydia bercita cita menjadi pemain teater dan Alice sangat menentang hal itu, karena Lydia menolak untuk masuk ke bangku kuliah, malah mengambil kursus peran.

Suatu ketika, Alice mulai melupakan hal hal kecil yang sebenarnya sudah melekat pada dirinya. Seperti lupa isi ceramah, ponselnya ketinggalan, sampai yang paling parah adalah ketika ia berlari (ia memiliki hobi lari) ia mengalami disorientasi arah selama beberapa menit.
Dalam panik, ia mencoba menenangkan diri dan menganggap kalau mungkin itu adalah gejala yang beriringan dengan fase menopausenya. Tetapi karena penasaran, ia memeriksakan diri ke neurologis dan mendapatkan hasil yang mengejutkan, ia terkena alzheimer. Tak puas dengan pernyataan neurologis tersebut, Alice dan John meminta tes mutasi yang hasilnya semakin menguatkan bahwa Alice memang benar terkena penyakit lupa itu.

Semenjak itu Alice makin berubah, ia melupakan banyak hal, emosional, bahkan cenderung delusional. Sementara orang orang disekitarnya menganggap Alice "berbeda", ia berjuang agar masih bisa diterima dalam lingkungan sekitarnya. Saat koleganya, mahasiswanya mulai menjauhinya seakan akan ia punya penyakit menular, Alice berusaha agar ia masih bisa menggunakan akal sehatnya untuk berpikir dan mengingat meski tentu saja makin lama kemampuannya memburuk.

Lalu apakah usaha Alice berhasil dalam meyakinkan orang orang di sekitarnya tersebut? Bahwa meskipun ia memiliki alzheimer, ia masihlah seorang Alice, seorang istri, ibu dan profesor Linguistik..

Membaca kisah alice sejujurnya terasa sangat manusiawi. Tokoh tokoh utamanya tak ada yang sempurna, Alice juga tidak digambarkan sebagai seorang yang luar biasa tangguh, ada saat saat ketika ia merasa sangat terpuruk bahkan berencana bunuh diri karena ia takut menjadi pribadi yang lain yang tidak disukai orang orang di sekitarnya karena Alzheimer. Terlebih lagi, John, suaminya, sangat sulit menerima kenyataan bahwa istrinya terserang alzheimer. Mungkin dia tidak rela melihat orang terkasihnya berubah, ya, sebenarnya ia turut serta kok dalam pengobatan istrinya, seperti mengantarnya check up, mencari penelitian obat alternatif yang menjanjikan, menemani Alice lari setiap sore, atau hal hal kecil lainnya. Tapi John juga keras kepala, ia sering menganggap Alice tak lagi penting, mengabaikan pendapatnya, bahkan makin lama makin sibuk dengan pekerjaannya.

Cinta yang Alice dapatkan sebagian besar datang dari anak anaknya, terutama Lydia si Bungsu. Sementara kakak kakaknya mencari tahu apakah mereka mewarisi gen Alzheimer itu, Lydia, seperti biasanya selalu memberi keputusan yang mengejutkan, memilih tidak mau mengetahui hal itu. Ia juga sabar mendampingi Ibunya, meski ada saat saat juga ketika ia kemudian bertengkar kembali dengan Si Ibu.

Yah, nobody is perfect lah pokoknya.

Bagian bagian yang paling berkesan buat saya waktu Alice berinisiatif mencari kenalan sesama alzheimer, lalu waktu ia membacakan ceramah tentang Alzheimer. Itu keren sangat lah pokoknya.


Oh iya, novel ini juga sudah difilmkan loh. Tentu saja nggak sama persis dengan aslinya,yaa.. namanya juga film. Seperti pas adegan lupa resep takaran telur, di buku lebih "mengejutkan" daripada di film. Waktu Alice menanyakan apakah anak anaknya akan melakukan tes uji gen pemicu alzheimer, itu juga dipotong. Terus waktu adegan kamar mandi, itu juga lebih nyesek baca bukunya. Tapi overall saya suka dengan filmnya, karakter Alicenya sesuai bayangan saya meski John nya entah kenapa berasa kurang pas.

Still Alice membuat saya jadi lebih dapat memandang para penderita Alzheimer dengan cara yang lebih kompleks. Mereka manusia biasa yang ingin eksistensinya tetap dilihat kita. :)





2 komentar on "Still Alice"
  1. aku kok ga suka filmnya ya...mungkin krn ada si bella sama pemerannya john itu.
    tp filmnya mmg membosankan

    BalasHapus
  2. Waaah saya jadi pengin baca novelnya kak :''''

    BalasHapus

EMOTICON
Klik the button below to show emoticons and the its code
Hide Emoticon
Show Emoticon
:D
 
:)
 
:h
 
:a
 
:e
 
:f
 
:p
 
:v
 
:i
 
:j
 
:k
 
:(
 
:c
 
:n
 
:z
 
:g
 
:q
 
:r
 
:s
:t
 
:o
 
:x
 
:w
 
:m
 
:y
 
:b
 
:1
 
:2
 
:3
 
:4
 
:5
:6
 
:7
 
:8
 
:9

Salam,

Salam,